Pelajaran Selingan, Muroja’ah Manshubat [Menengah Angkatan Ke-1]

baxthi-logo2

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidak terasa pelajaran at-Taisir kelas menengah angkatan pertama sudah menginjak materi bulan ke-5. Oleh sebab itu untuk mengulang materi yang pernah kita dapatkan, berikut ini kita akan memberikan beberapa contoh penerapan kaidah yang sudah dipelajari. Semoga bermanfaat.

Pada kesempatan ini kita akan sedikit memuroja’ah pelajaran seputar isim-isim manshub/manshubat.

Dalam pelajaran ke-16, kita sudah belajar tentang Maf’ul Li Ajlih dan Haal. Ya, ada yang masih ingat apa bedanya antara kedua istilah ini?

Maf’ul Li Ajlih adalah isim manshub yang disebutkan untuk menerangkan sebab terjadinya perbuatan. Adapun Haal adalah isim manshub yang disebutkan untuk menerangkan keadaan pelaku atau objek ketika terjadinya perbuatan.

Marilah kita perhatikan dua contoh kalimat berikut ini:

جَاءَ مُحَمَّدٌ رَاكِباً

[Jaa’a Muhammadun raakiban]

artinya: “Telah datang Muhammad sambil berkendaraan.”

Coba jelaskan, mengapa kata ‘Muhammad’ dibaca marfu’ sedangkan ‘raakiban’ dibaca manshub? Ya, betul! ‘Muhammad’ di sini berkedudukan sebagai fa’il/pelaku, dan pelaku harus dibaca marfu’. Adapun ‘raakiban’ berkedudukan sebagai haal. Ia menjelaskan keadaan pelaku -yaitu ‘Muhammad’- ketika terjadinya perbuatan [yaitu ‘datang’]. Ketika datang, ia dalam keadaan berkendaraan [raakiban]. Sehingga dalam pemaknaan, ‘haal’ biasa diartikan dengan awalan ‘dalam keadaan’ atau ‘sambil’.

زُرْتُ عَلِيًّا حُبًّا لَهُ

[zurtu ‘Aliyyan hubban lahu]

artinya: “Aku mengunjungi Ali karena cinta kepadanya.”

Mengapa kata ‘Aliyyan’ dibaca manshub demikian juga ‘hubban’? Kata ‘Aliyyan’ di sini manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul bih/objek, sedangkan kata ‘hubban’ dibaca manshub sebagai maf’ul li ajlih; ia menerangkan sebab terjadinya perbuatan. Dalam hal pengartian maf’ul li ajlih biasa diartikan dengan awalan ‘karena’ atau ‘dalam rangka’.

Dalam pelajaran ke-15, kita mengenal istilah Maf’ul Muthlaq dan Maf’ul Ma’ah. Apa bedanya? Maf’ul Muthlaq merupakan isim manshub berupa mashdar yang disebutkan untuk mempertegas perbuatan, atau menjelaskan bilangannya, atau menjelaskan jenis/sifat perbuatannya. Adapun Maf’ul Ma’ah adalah isim manshub yang terletak setelah wawu ma’iyah yang menunjukkan mushohabah/kebersamaan.

سِرْتُ وَالْجَبَلَ

[sirtu wal jabala];

artinya, “Saya berjalan [bersama/menelusuri] gunung.”

Di sini kata al-Jabala dibaca manshub kenapa? Karena ia berkedudukan sebagai maf’ul ma’ah. Ia terletak sesudah huruf wawu ma’iyah.

ضَرَبْتُ ضَرْبًا

[dhorobtu dhorban]

artinya, “Saya memukul benar-benar memukul”

Nah, kata ‘dhorban’di sini dibaca manshub karena ia berkedudukan sebagai Maf’ul Muthlaq. Ia berupa mashdar dari kata kerja ‘dhoroba’ [memukul]. Apa fungsinya di sini? Ia berfungsi untuk mempertegas perbuatan, bahwa pelaku ‘benar-benar telah memukul’.

Dalam pelajaran ke-14, kita telah membahas tentang Maf’ul Bih dan Maf’ul Fih. Ya, tentu masih ingat. Maf’ul Bih adalah isim manshub yang dikenai pekerjaan, atau biasa kita kenal dengan istilah obyek. Adapun Maf’ul Fih adalah keterangan tempat atau waktu atas suatu peristiwa/perbuatan. Keterangan tempat disebut Dhorof Makan, sedangkan keterangan waktu dinamakan Dhorof Zaman.

قَرَأْْتُ كِتَابًا

[qoro’tu kitaaban]

artinya: “Aku telah membaca sebuah buku”

Kata kitaaban [sebuah buku] dibaca manshub karena ia berkedudukan sebagai maf’ul bih [objek]. Dan maf’ul bih harus dibaca manshub.

قَرَأْْتُ أَمَامَ الْفَصْلِ

[qara’tu amaamal fashli]

artinya: “Aku membaca di depan kelas.”

Kata amaama adalah maf’ul fih/dhorof. Kata al-fashli adalah sebagai mudhaf ilaih, ia dibaca majrur/kasroh akhirannya.

Leave a comment

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 40 other subscribers

Keutamaan Ilmu

Abu Hurairah dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu raka’at sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26 karya Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah)

Pentingnya Ikhlas

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia bertanya, “Ada orang yang berperang untuk fanatisme kelompok, berperang untuk menunjukkan keberanian, dan berperang untuk mendapat pujian. Manakah diantara itu semua yang berada di jalan Allah?”. Maka beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keagungan Sabar

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah hamba mendapatkan karunia yang lebih utama daripada kesabaran. Karena dengan sebab kesabaran itulah mereka masuk ke dalam surga.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 459)